
Jokowi dan komik Doraemon. (foto: istimewa)
By, Syafril Sjofyan *)
DIALOG singkat dalam suasana halal bi halal dengan beberapa sahabat. Menurut seorang sahabat. Memaklumi Presiden Jokowi yang bacaannya adalah komik Sincan dan Doraemon. Seperti pengakuannya. Ada kenakalan sebagai Sincaan. Ada pemimpi sebagai Doraemon yang punya kantong ajaib.
Berharap Jokowi sebagai Negarawan. Jangan katanya lagi. Tidak heran jika Jokowi “memaksakan mimpi”nya membangun Kereta Cepat. Walaupun jarak tempuh kereta sangat singkat. Berapapun mahal. Serta kerugiannya. Jokowi tidak akan peduli. Indonesia gaya punya mainan Kereta Cepat. Made in China.

Sjafril Sjofyan
Tak kecuali IKN. Ibu Kota Negara baru. Yang sangat jauh dari IKN. Ibu Kota Negara Lama. Betapapun tidak masuk akal. Tak Peduli. Toh ada Kantong ajaib Doraemon. Banyak Negara lain gagal memindahkan Ibu Kota. Menjadi Kota Hantu. Karena jauh jaraknya dari ibukota lama.
Berharap beliau jadi intelektual yang paham tentang etika bernegara. Juga tidak mungkin. Timpal sahabat yang lain. Dijadikannya Istana Negara untuk konsolidasi pemenangan Pemilu oleh Jokowi. Terang-terangan mendukung Ganjar. Menolak yang lainnya. Sebagai bukti Jokowi bukan Kepala Negara. Bukan Negarawan.
Bukti ketidak pahaman beliau tentang menjadi kepala Negara. Bisa dipahami karena selama ini beliau hanya petugas partai. Jokowi jadi “sibuk mencampuri” urusan pesta demokrasi lima tahunan. Tidak malu menggelar pertemuan dengan sejumlah ketua parpol koalisi pendukung pemerintah di Istana Negara.
Dipastikan pemilu 2024. Jokowi tidak akan malu jadi tim sukses Ganjar Pranowo. Dia bukan kepala Negara tapi petugas partai. Jika demikian akan terjadi Pilpres yang jurdil?. Pasti tidak!! Teriak sahabat yang lain. Tanpa sadar diskusi HBH semula penuh tawa dan canda. Jadi serius.
Apa fatsalnya. Menyaksikan polah Jokowi. Kedepan untuk kemenangan desain Capres pilihannya pada Pilpres 2024, tidak saja menggunakan fasilitas Negara juga kekuasaannya untuk kepentingan politiknya.
Para sahabat jadi sewot. Istana Negara. Adalah tempat bermukimnya Presiden sebagai kepala negara. Seharusnya dia bicara tentang gagasan bangsa, dan konsep mensejahterakan rakyat.
Kembali dong ke bacaan Jokowi pada komik Sincan dan Doraemon. Tidak mungkin dong. Jangan harapkan beliau. Membicarakan persoalan bangsa, gagasan, apalagi idelogi bangsa. Selama ini toh tidak pernah. Paling banter nanya nama-nama ikan. Disamping ide dari kantong ajaib Doraemon.
Walaupun kalangan intelektual dan para aktinis “teriak-teriak” tidak akan dimengerti dan dipahami oleh Jokowi. Jokowi kopeq sesuai bacaannya. Sama kopeq nya dengan tetap mengadakan acara 17 Agustusan 2024 di IKN Baru. Apapun tantangannya.
Para sahabat diskusi, akhirnya melirik saya. Ayo sebagai Pemerhati dan aktivis gimana? Kompak mereka mendaulat. Saya senyum dikulum, mencoba sedikit ilmiah. Saya kutip filosofi hukum dari bacaan yang pernah saya pahami. Walau saya latarnya Teknik dan Manajemen.
Konsolidasi politik yang menghadirkan parpol pendukung pemerintah. Untuk membahas kemenangan politik kekuasaan di Istana negara beberapa hari yang lalu jelas tindakan yang keliru. Jokowi dapat dikategorikan melanggar etika fatsoen politik pemerintahan.
Secara teoritis maupun filosofis, etika dan hukum adalah dua entitas yang sangat berkaitan. Tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang.
Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum.
Di Negara maju yang demokrasi dan hukumnya telah menyatu dengan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi yang setara dengan pelanggaran hukum.
Banyak pejabat negara di negeri-negeri itu memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti atau bahkan baru diduga melakukan pelanggaran etik.
Namun, konteks di Indonesia, seorang pejabat negara hanya akan meninggalkan jabatannya hanya apabila menurut undang-undang/peraturan dia harus diberhentikan. Tidak berpengaruh pada seberat apapun pelanggaran etik yang dia lakukan atau seberapa banyak ia melakukan pelanggaran etika. Apalagi kalau pejabatnya kopeq. Sela sahabat yang lain. Lalu gimana kata yang lain.
Satu-satunya cara konstitusi. People Power. Jika rakyat sadar betapa rusaknya tatanan Negara dengan banyaknya pelanggaran etika. Ala Sincan.
Bandung, 5 Mei 2023
*) Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjend FKP2B