
Oleh: Suprio Guntoro
KATA *Bhinekka Tunggal Ika” sekitar 5-10 tahun terakhir ini sering didengungkan oleh para pejabat, politisi atau tokoh masyarakat, seiring dengan
munculnya rasa kekhawatiran akan terjadinya dis-integrasi bangsa.
Dengan mendengungkan kata “Binneka Tunggal Ika” seolah telah mengingatkan seluruh anak bangsa bahwa bangsa ini ditakdirkan dengan kondisi penuh keberagaman, baik dari segi etnis, agama, budaya, tradisi dll.
Sehingga dengan mengingat motto “Bhineka Tunggal Ika” seluruh warga bangsa sadar, jangan sampai karena keragaman itu membuat kita terpecah belah.
Pada umumnya rakyat Indonesia tahu dan mengerti tentang semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Tetapi siapakah pencetus semboyan ini dan sejak kapan semboyan ini ada? Mungkin belum terlalu banyak orang yang tahu.
Lalu apa pula hubungannya dengan “Calon Arang” sebuah seni teater rakyat atau teater tradisional tradisional Bali?.
Memang kelahiran Bhinekka Tunggal Ika, secara historis punya hubungan erat dengan Calon Arang, seorang tokoh wanita (janda) dari desa Dirah (Kediri), penganut Budha sekte Bairawa yang amat ekstrem, yang merupakan musuh bebuyutan Prabu Airlangga raja Kahuripan, pemeluk Hindu, sekte Wisnu.
Sejak Era Mataram 1
Sejak awal berdirinya Kerajaan di Jawa (MATARAM I) sekitar abad ke 7, perang dan pertikaian antar kelompok, terutama antara pemeluk Hindu dan Budha tidak pernah putus
Kerajaan Mataram I secara bergiliran dikuasai oleh Dinasti (Wangsa) Isyana yang beragama Hindu, dan Wangsa Syailendra, yang beragama Budha.
Mataram I mencapai masa keemasan pada pemerintahan Raja Sanjaya dari Wangsa Isyana dan raja Samarattungga dari Wangsa Sailendra. Sesudahnya, Mataram semakin pudar, akibat pertikaian kedua wangsa tersebut karena memperebutkan ke kuasaan.
Maka penguasa Mataram 1 pun silih berganti antara keturunan Wangsa Isyana dengan keturunan Wangsa Syallendra melalui proses kudeta atau peperangan.
Raja terakhir dari Wangsa Syailendra adalah Balaputra Dewa yang dijatuhkan oleh Rakai Pikatan dari wangsa Isyana. Balaputra Dewa setelah terdepak dari istana, melarikan diri ke Sumatera (Sriwijaya) untuk menghindari pembunuhan dari para pengikut Rakai Pikatan.
Namun pengikut Balaputra Dewa masih banyak pula yang bertahan di wilayah Mataram untuk menunggu momentum yang tepat, guna melakukan balasan.
Ketika cucu Rakai Pikatan, Mpu Sendok, berkuasa, untuk menjaga stabilitas negara, maka pusat kerajaan dipindahkan, dr Yogyakarta ke Jawa Timur (Kediri) dan nama Kerajaan pun diubah menjadi kerajaan Medang. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dendam dan ingatan para pendukung Wangsa Syailendra yg masih banyak bertahan di Yogya dan Jawa Tengah.
Namun dendam kesumat itu tampaknya tidak mudah dipadamkan. Setelah Mpu Sendok mangkat, digantikan oleh putranya, Darmawangsa Teguh.
Untuk memperkuat pengaruh kerajaan Medang, Darmawangsa bermaksud menjodohkan putrinya, dengan putra raja Bali (Prabu Udayana ) dari wangsa Warma. Dewa, yang bernama Airlangga. Saat menikah Airlangga dan istrinya masih berusia belasan tahun.
Ketika hendak berangkat menikah ke Jawa, mengingat situasi kerajaan Medang kurang begitu aman, Prabu Udayana terpaksa merelakan ajudannya (Patih Narotama- yang dikenal sebagai manusia pelari kencang) untuk menyertai Airlangga, demi keamanan putranya.
Firasat buruk Prabu Udayana tidak meleset. Ketika pesta pernikahan Airlangga dengan istrinya tengah berlangsung, tiba-tiba terjadi serangan mendadak dari kelompok pendukung dinasti Syailendra, di bawah pimpinan Aji Wura Wari
Banyak para tamu dan pasukan Medang yang terbunuh (karena mereka tidak siap).
Bahkan Prabu Darma Wangsa Teguh tewas di tangan Aji Wura Wari. Beruntung, Airlangga dan istrinya berhasil dilarikan oleh Narotama dan disembunyikan di lereng Gunung Lawu.
Beberapa hari kemudian, Narotana menyelinap di pusat kerajaan Medang untuk melakukan Konsolidasi dengan para prajurit dan pendukung Darmawangsa.
Setelah berhasil melakukan konsolidasi, Narotama melakukan serangan balik ke pasukan Syailendra dan berhasil menewaskan Ai Wura-Wari, sehingga Airlangga berhasil naik tahta sebagai penguasa kerajaan Medang.
Untuk melunakkan hati para pendukung Syailendra terutama dari kalangan penganut Budha, maka Airlanggamengangkat 2 (dua) pendeta Budha yang amat berpengaruh.
Mereka kakak beradik, yakni Mpu Kuturab dan Mpu Baradah sebagai penasehatnya, serta mengubah nama kerajaan. Dari semula bernama kerajaan Medang, menjadi kerajaan Kahuripan.
Namun usaha tersebut belum juga mampu menuntaskan permusuhan antara umat Budha dan umat Hindu di Medang.
Suatu hari, masyarakat dibuat kaget dengan munculnya seorang wanita yg bernama Calon Arang, yg berani menentang kebijakan raja (Airlangga). Untuk menghindari kesalahan persepi, Prabu Airlangga mengurus beberapa abdi istana ke desa Dirah untuk menemui dan memberi penjelasan kepada Calon Arang dan para pengikutnya. Seluruh utusan Airlangga ditangkap dan dibunuh secara keji oleh Calon Arang.
Hal ini membuat gempar Kahuripan dan amat mengecewakan Airlangga. Padahal suami Calon Arang adalah merupakan penasehan raja, yakni Mpu Kuturan.
Tentu saja Mpu Kuturan merasa malu. Maka Kuturan pun menemui istrinya dan memarahinya. Tapi Calon Arang justru memaki-maki suaminya. Maka keduanyapun akhirnya bercerai.
Sejak saat itu, Orang-orang menyebut CALON ARANG dengan julukan JANDA DARI DIRAH. DI Bali sebagian orang menyebutnya Rangda eng Dirah (wanita berilmu hitam yang ada di desa Dirah).
Setelah menjadi janda perilaku Calon Arang justru semakin brutal. Dia dan pengikutnya suka membuat keonaran. Merusak simbol-simbol kerajaan maupun simbol agama lain. Manakala ada yang menentangnya, maka orang itu akan dibunuhnya.
Di tengah kegelisahan menghadapi aksi-aksi teror Calon Arang, Airlangga menerima berita dri ayahnya (Prabu Udayana) bahwa situasi di Bali sedang genting karena desa-desa adat tidak.mengakui keberadaan kerajaan dan Dinasti Warma Dewa. Bahkan lebih dari 300 desa adat telah siap melakukan pemberontakan dan menyerang istana Warma Dewa.
Prabu Udayana meminta Airlangga untuk mengirim salah seorang penasehatnya ke Bali, guna membantu mencari solusi menghadapi pembangkangan desa-desa adat. Maka, Prabu Airlangga segera mengutus Mpu Kuturan berangkat ke Bali untuk membantu ayahnya (Udayana) (BERSAMBUNG)