
Grup musik Coldplay
Oleh: Dhimam Abror Djuraid
Grup musik asal Inggris Coldplay akan melakukan konser di Jakarta 15 November. Meskipun masih jauh, konser itu sudah bikin heboh beberapa waktu terakhir. Tiket pertunjukan sudah terjual habis, dan banyak yang tidak kebagian. Yang paling heboh adalah pernyataan organisasi Persatuan Alumni (PA) 212 yang tidak setuju terhadap penyelenggaraan konser itu dan mengancam akan mengepung konser jika tetap diadakan.
Alasan yang dikemukakan PA 212 karena Coldplay mendukung LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Ancaman ini menimbulkan respons luas dari publik. Pihak berwenang menyatakan bahwa jika PA 212 mengepung konser maka akan berhadapan dengan aparat keamanan.

Dhimam Abror Djuraid
Coldplay adalah grup band rock asal Inggris. Band ini terdiri atas empat anggota, yakni Chris Martin (vokalis), Jonny BUckland (gitaris), Guy Berryman (bassist) dan Will Champion (drummer). Grup band ini dianggap sebagai salah satu band terbesar dan memiliki jutaan penggemar di seluruh dunia. Mereka juga telah memenangkan banyak penghargaan musik, termasuk tujuh Grammy Awards.
Dalam beberapa kali konser vokalis Coldplay Chris Martin memamerkan bendera berwarna pelangi sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan LGBT. Tentu saja Chirs Martin dan Coldplay bukan satu-satunya grup musik yang memberikan dukungan secara terbuka. Penyanyi pop dunia, seperti Madonna, Lady Gaga, dan Christina Aguilera memiliki basis penggemar yang sebagian besar adalah pria gay.
Sejumlah seniman pria normal juga menyuarakan dukungan terhadap LGBT. Mulai dari The Chainsmokers yang menentang larangan militer transgender Trump sampai musisi Jay-Z yang memuji identitas lesbian ibunya dalam sebuah lagu di album terbarunya.
Lagu-lagu Coldplay tidak secara eksplisit menyuarakan pesan-pesan LGBT. Meski demikian grup ini secara terbuka menyatakan dukungan terhadap gerakan LGBT. Beberapa grup dan penyanyi terkemuka dunia juga terbukti menjadi aktivis LGBT meskipun lagu-lagunya tidak mempromosikannya secara terbuka. Freddy Mercury penyanyi grup musik Queen dikenal sebagai praktisi LGBT, demikian juga Elton John dan George Michael, yang secara terbuka diketahui sebagai praktisi LGBT dan bahkan punya pasangan resmi sesama jenis.
Bagi grup musik dan penyanyi terkenal level dunia, memperjuangankan hak-hak politik kelompok tertentu merupakan bagian dari manifestasi ideologis dan idealisme mereka dalam bermusik. Sangat banyak musisi top dunia yang terlibat dalam proyek kemanusiaan raksasa dengan menggelar konser kelas dunia.
Musisi Bob Geldoff asal Inggris menjadi salah satu pelopor terkemuka ketika pada 1985 dengan mengadakan konser Live Aid untuk mengumpulkan dana sebagai upaya membantu rakyat Ethiopia yang mengalami bencana kelaparan dahsyat.
Konser diselenggarakan serentak di Stadion Wembley di London, dihadiri sekitar 72.000 orang, dan Stadion JFK di Philadelphia dihadiri sekitar 90.000 orang. Selain itu, konser tambahan dilangsungkan di kota-kota besar lainnya seperti Sydney dan Moskow.
Konser Live Aid tercatat dalam sejarah sebagai siaran langsung terbesar dalam sejarah pertelevisian, dengan sekitar 1,9 miliar pemirsa di 150 negara yang menyaksikan tayangan ini secara langsung di televisi. Kesuksesan konser amal ini melebihi harapan penyelenggaranya waktu itu. Awalnya hanya diperkirakan meraih 1 juta pound tetapi akhirnya berhasil mengumpulkan 150 juta pound.
Konser ini menampilkan lebih dari 75 aksi, termasuk Elton John, Queen, Madonna, Santana, Run DMC, Sade, Sting, Bryan Adams, the Beach Boys, Mick Jagger, David Bowie, Duran Duran, U2, the Who, Tom Petty, Neil Young dan Eric Clapton.
Ketika masyarakat dunia tidak berbuat banyak untuk membantu bencana yang dahsyat para musisi itu turun tangan membantu dengan mengikuti konser besar tanpa dibayar dan seluruh hasil penjualan tiket disalurkan untuk membantu korban bencana.
Musisi besar dunia banyak yang menjadi aktivis politik dan sekaligus aktivis lingkungan. Penyanyi Bono dari grup musik U2 terkenal sebagai aktivis lingkungan dan aktivis yang berjuang untuk memberantas kemiskinan. Penyanyi Sting dari grup The Police juga dikenal sebagai pejuang lingkungan dan pejuang kelompok minoritas yang tertindak terutama suku-suku asli di berbagai wilayah pedalaman.
Dalam konteks ini aktivitas Coldplay yang mendukung LGBT bukanlah hal yang baru di kalangan musisi internasional. Coldplay bukan hanya mendukung LGBT, tetapi juga mendukung perjuangan Palestina. Pada 2011, halaman facebook resmi Coldplay pernah membuat postingan yang menyerukan agar para penggemar mereka mendengarkan lagu “Freedom for Palestine”. Tembang itu merupakan kolaborasi musik yang digagas oleh gerakan OneWorld.
Dukungan terhadap Palestina juga ditunjukkan sang vokalis, Chris Martin. Selama bertahun-tahun, Chris menuai kemarahan penggemar pro Israel karena sikapnya terhadap Palestina. Pada 2019, saat menggelar konser di Amman, Yordania, seorang penggemar meminta Chris menyanyikan sebuah lagu untuk Gaza. Martin juga diminta memberikan pidato berisi solidaritas dengan Palestina.
Musisi Indonesia justru harus meniru para musisi internasional yang mempunyai kesadaran sosial dan politik yang tinggi. Selama ini musisi mainstream Indonesia didominasi oleh lagu-lagu ‘’ngak-ngik-ngok’’ (meminjam istilah Bung Karno). Beberapa musisi Indonesia juga menyuarakan kritik sosial politik yang tajam seperti Iwan Fals. Grup rock Slank juga banyak menyuarakan kritik sosial. Belakangan Slank menimbulkan kontroversi karena dukungannya terhadap Jokowi, sehingga salah satu personelnya diangkat menjadi komisaris salah satu perusahaan BUMN.
Penolakan terhadap konser musisi internasional juga pernah dilakukan terhadap Lady Gaga pada 2012. Penyanyi eksentrik asal Amerika Serikat itu dianggap vulgar dan aksi panggungnya sering dianggap identik dengan pornografi. Karena kerasnya penolakan terhadap Lady Gaga polisi akhirnya tidak mengeluarkan izin dan konser pun batal.
Penggemar sepak bola Indonesia sampai sekarang masih berduka karena Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U 20, karena penolakan kehadiran tim Isarel oleh politisi PDIP. Penolakan ini lebih bermotivasi politik ketimbang motif lain.
Rencana mengepung konser Coldplay bisa menjadi konterproduktif terhadap citra gerakan Islam. Pihak yang tidak setuju bisa meminta panitia penyelenggara untuk meminta Coldplay tidak membawa pesan LGBT pada konser itu. Masih banyak jalan dakwah yang lebih bijaksana yang bisa diambil. ()