
Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik
Persepsi Fahri Hamzah (FH) melalui statemennya yang menamtang KPK memeriksa hutang Anies Baswedan merupakan bentuk kekeliruan atau kecerobohan dalam berpikir yang mirip hasad atau penuh kebencian.
FH tidak bisa membedakan beberapa kategori bidang dalam ilmu hukum.
Dia tidak bisa membedakan mana yang mengandung keperdataan, yang merupakan bagian dari hukum ketata negaraan, dan mana yang pantas disebut koruptif atau sebagai bagian hukum pidana
Bahwa aturan norma hukum terhadap seorang peserta Pilkada (Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota/ Bupati dan Wakil Walikota/ Wakil Bupati) tidak ditemukan tentang larangan adanya perjanjian utang piutang dengan kategori “utang dengan kriteria perjanjian bersyarat”, sesuai peraturan sistem perundangan – undangan keperdataan. Sistem ini diatur oleh sistim hukum positif di dalam KUHPerdata (Burgelijk wetbook) yang masih berlaku hingga kini.
Dan, jika dihubungkan dengan diri Anies saat peristiwa hukum pilkada DKI. 2017 sebagai pihak peserta atau bakal calon pada jabatan politis tersebut dengan adanya pejanjian dengan pihak kedua, sesuai topik yang sempat menjadi umpan lambung politik dari Sandi, yang teryata berakhir ngawur
Adapun maksud dari perjanjian bersyarat atau biasa juga disebut perjanjian menggantung merupakan bagian hukum keperdataan (Private recht). Yakni sebuah perjanjian antara 2 pihak atau lebih, yang digantungkan pada peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi.
Kontrak bersyarat ini dapat dibagi dua, yaitu kontrak dengan syarat tangguh dan kontrak dengan syarat batal ( KUHPerdata/BW. Pasal 1253 – 1267 )
Sedangkan di dalam Peraturan KPU/PPKPU No. 5 Tahun 2017 Tmtentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Atau Walikota dan Wakil Walikota dinyatakan secara tegas didalam Pasal 7 ayat 1 sampai 3. Isinya adalah:
(1) Dana kampanye yang berasal dari Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), nilainya paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap Partai Politik selama masa Kampanye.
(2) Dana Kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a, nilainya paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) selama masa Kampanye.
(3) Dana Kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok atau badan hukum swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan huruf c, nilainya paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) selama masa Kampanye.
Maka jika disimak dengan seksama, jelas tidak ada sifat pada klausula didalam regulasi PPKPU. yang melarang bantuan terkait
adanya pinjaman atau utang bersyarat yang berhubungan dengan seorang calon peserta pilkada ( Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota/ Bupati dan Wakil Walikota/ Wakil Bupati ).
Sehigga, perspektif hukum terhadap konsekuensi logis sebuah dugaan adanya kekeliruan atau kesalahan seseorang yang mengandung unsur pidana atau yang bukan termasuk bagian dari unsur keperdataan, maka terhadap unsur yang memiliki konsekuwensi hukum pidana, tidak boleh lahir analogis atau perumpamaan terhadap unsur deliknya.
Karena ranah KPK melulu merupakan unsur tindak pidana, bukan unsur keperdataan. Sedangkan aktifitas KPU merupakan kegiatan hukum tata negara, yang merupakan bagian dari unsur perdata. Dan, terkait sengketa muatan hukum tata negara, maka domain kekuasaannya ada di PTUN, pengadilan negeri dan pengadilan agama. Termasuk terkait Uji Materi atau Judicial Review (JR). merupakan kompetensi Mahkamah Konsitusi dan atau Mahkamah Agung.
Sehingga teriakan FH. agar Anies diperiksa oleh KPK. adalah perilaku lancang. Mirip orang yang hasad. (*)