
Pendahuluan
Diantara perkara yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan rumah tangga adalah interaksi keuangan (muamalah maaliyah) antara suami istri, baik berupa nafkah, hutang piutang, hadiah, dan lain sebagainya.
Pengalaman penulis selama berdakwah di tengah-tengah masyarakat pernah menemukan beberapa kasus interaksi keuangan ini, dan yang paling banyak adalah kasus di mana seorang suami meminjam harta istri dengan akad hutang, namun suami tidak melunasi hutang tersebut, bahkan lebih dari itu ada suami yang menggelapkan harta istri dengan cara yang zhalim. Sehingga istri sakit hati dan mendoakan keburukan untuk suaminya.
Karenanya dalam kajian ini, penulis sedikit ingin menjelaskan tentang hukum hutang-piutang yang terjadi antara suami istri. Agar setiap kita, wabilkhusus kepada para suami untuk tidak meremehkan perkara ini, karena hal ini bisa menyebabkan kegelapan di dunia dan di akhirat.
Harta Kepemilikan Istri
Dalam kajian muamalah maaliyah, paling tidak ada tiga jenis harta kepemilikan Istri menurut para ulama; 1) harta nafkah (belanja) pemberian suami, 2) harta pribadi istri, dan 3) harta pribadi istri yang bercampur dengan harta suami. Untuk lebih jelasnya sebagaimana berikut:
Harta nafkah (belanja) pemberian suami
Seorang suami berkewajiban untuk menafkahi istri, anak-anak dan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya. Kewajiban ini berdasarkan nash-nash Al-Quran, Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Ijma’ ulama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
Juga firmanNya:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Jabir mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقُوْا اللهَ فِيْ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عوان عِندَكُمْ، أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَ اسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ ، وَ لَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ
“Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian”. (HR. Muslim)
Mayoritas ulama, diantaranya Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa kewajiban suami memberi nafkah juga berlaku bagi isterinya dari kalangan wanita Kitabiah (Ahlul Kitab) jika ia memiliki isteri dari golongan mereka, berdasarkan keumuman nash-nash yang mewajibkan suami memberi nafkah isteri.
Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar ketika menjelaskan pendapat para ulama tentang kewajiban suami dalam pemenuhan nafkah keluarga berkata:
“Hal yang telah diketahui oleh kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang, bahwa suami wajib memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya, menyediakan segala hal yang dibutuhkan oleh isteri serta anak-anaknya. Kebiasaan manusia pada umumnya tidak mengharuskan suami memberikan nafkah setiap hari, baik harta (uang) ataupun makanan, pakaian dan yang sejenisnya (artinya pemenuhan tersebut bersifat fleksibel, sesuai dengan tuntutan kebutuhan keluarga, pent). Demikian juga teknis pemenuhan ini, tidak disandarkan kepada kadar nafkah serta (tidak pula) mewajibkan suami memberikan nafkah secara taradhin (saling ridha), ataupun berdasarkan keputusan hakim; kecuali jika terjadi perselisihan di antara suami-isteri yang disebabkan suami tidak memberikan nafkah kepada keluarga karena kekikirannya, atau karena kepergiannya atau pun karena ketidaksanggupannya memberi nafkah. Maka pada kondisi seperti ini, pemenuhan nafkah keluarga disandarkan kepada hukum secara suka sama suka (taradhin) atau berdasarkan keputusan hakim.”
Maka terhadap harta nafkah pemberian suami dalam artian uang belanja, istri wajib membelanjakannya sesuai dengan ketentuan syariat dan kesepakatan bersama antara suami dan istri. Bila ingin membelanjakannya kepada sesuatu diluar kesepakatan bersama, maka istri wajib meminta izin dan keridhoan dari suami, sehingga tidak terjadi polemik rumah tangga anta suami istri.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa suami wajib berusaha dan bekerja dari harta yang halal, maka istri bertanggung jawab mengatur belanja dan konsumsi keluarga dalam koridor mewujudkan lima tujuan syariat Islam (maqashid syariah), yaitu dalam rangka memelihara agama, akal, kehormatan, jiwa dan harta.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Istri adalah pengayom bagi rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Al-Bukhari)
Dan juga sabdanya:
“Bila seorang istri menyedekahkan makanan rumah tanpa efek yang merusak kebutuhan keluarga, maka dia mendapat pahala dari amalnya. Demikian pula suami mendapatkan pahala dari hasil usahanya, demikian pula pelayan mendapatkan bagian pahala tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ath-Thabrani)
Maka apabila suami mengambil kembali sebagian uang belanja yang telah diberikannya kepada istri untuk suatu kebutuhan tertentu, maka tiada kewajiban suami untuk melunasi pinjamannya tersebut, yang wajib bagi suami adalah bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan sebaik-baiknya bila pengambilan uang tersebut bisa mengakibatkan kebutuhan rumah tangga tidak terpenuhi. Wallahu A’lam.
Berlanjut…