
Potensi NU-Muhammadiyah dalam Memasuki Era Perdagangan Carbon (7)
Oleh : SUPRIO GUNTORO
SEBAGAIMANA Muhammadiyah, sepengetahuan saya NU juga tidak memegang hak pengelolaan hutan juga tidak memiliki pabrik- pabrik yang besar.
.Sebagaimana Muhammadiyah, NU juga memiliki ribuan gedung, baik untuk masjid, perkantoran, pesantren, atau madrasah, juga untuk kampus (universitas) meski jumlahnya tidak sebanyak yang dimiliki Muhammadiyah.
Kekuatan atau potensi utama NU yang paling besar dalam memasuki era ” Perdagangan Carbon” adalah pada jumlah jama’ahnya, terutama jamaah petani yang sangat amat besar. Saya tidak tahu persis berapa jumlah jamaah petani NU
BiIa kita asumsikan ada 40 juta jiwa petani NU maka , berarti ada erkitar 10 juta KK petani NU. Bila setiap KK menggarap lahan seluas 0,4 hektar atau 40 are per KK.
Maka total lahan garapan petani NU mencapai seluas 4 juta hektar, atau sekitar 8 kali luas pulau bali dan lebih luas dari pulau Bali. Dan lebih luas dari seluruh wilayah Taiwan.
Lahan pertanian tersebut berupa sawah, tegalan, pekarangan dan perkebunan serta tambak. Semua itu bisa menjadi “lumbung credit Carbon” bagi NU. Namun potensi itu tidak bisa dimanfaatkan begitu saja.
Diperlukan inovasi-inovasi dan teknologi baru untuk mengubah pola bertani yang konvensional ke arah pertanian yang lebih maju dan ramah lingkungan (rendah emisi carbon).
Di LAHAN SAWAH
DI lahan sawh, untuk memperoleh ” Credit carbon’ yang bisa dilakukan antara lain.
1) Pengginaan varietas padi unggul rendah emisi (metan).
Saat ini Badan LIYBANG PERTANIAN telah berhasil menemukan beberapa varietas padi unggul (produksinya tnggi) tetapi menghasilkan emisi yang rendah .
Seperti varietas Ciherang dan Inpari, Memberamo, Batanghari, dll. Benihnya bisa diperoleh di Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi- Jawa Barat. Dengan .menanam padi tersebut, emisi carbon dalam bentuk metan bisa turun sebesar 30 persen.
Penurunan emisi carbon dalam bentuk metan ( CH4) nilainya mencapai 20 kali lipat dari Carbon dioksida ( CO2). Karena daya rusaknya terhadap lapisan ozon 20 kali lipat dibanding Carbon dioksida.
Sehingga nilai penurunan carbon dalam bentuk metan, nilainya bisa 20 kali lebih besar dari pada carbon dioksida yang diemisi oleh pabrik atau kendaraan bermotor
-2) Langkah kedua yang bisa dilakukan untuk menurunkan emisi carbon di sawah adalah dengan melakukan irigasi berselang (intermition).
Jadi sawah tidak digenangi air terus menerus. Tetapi pengairan diberikan berselang seling setiap hari. Jika hari ini diairi, besok tanpa diairi lusa diairi, besoknya lagi tidak.
Demikian seterusnya srhingga emisi karbon dalam bentuk metan bisa diturunkan hingga 50 persen dibanding dengan irigasi kovensional ( terus menerus). Mungkin timbul pertanyaan, apakah cara irigasi model l ini tidak menyebabkan turunnya produksi gabah? Jawabnya tidak.
Produksi gabah tidak turun, tapi justru meningkat. Data uji icoba di berbagai lokasi, menunjukkan bahwa dengan irigasi berselang dapat meningkatkan produksi gabah rata- rata . 20-21 persen.
Langkah ke tiga, adalah dengan menggunakan pupuk organik.
Penggunaan pupuk organik menyebabkan penggunaan pupuk an- organik (kimia) akan berkurang, sehingga jam kerja pabrik pupuk berkurang. Sehingga emisi carbon oleh pabrik-pabrik akan berkurang.
Jika jama’an tani NU sampai ngamuk ( menggunakan pupuk organik total) maka pabrik- pabrik pupuk akan bangkrut semua. Tapi tidak apalah.
Mereka sudah bertahun- tahun, berpuluh- puluh tahun menikmati keuntungan yang tinggi dari berjualan pupuk yang harganya mencekik leher.
Jadi wajar jika pada waktu ganti bangkrut. Juga wajar jika para petani yang sudah berpuluh tahun rugi karena harga pupuk melambung tinggi dan ” merdeka” (dari cengkeraman kapilalis,) dengan membuat pupuk sendiri, sehingga lebih untung dan dapat meraih “Credit carbon”.
Namun untuk menerapkan penggunaan pupuk organik harus hati- hati. Jangan langsung 100 persen organik. Jika ini dilakukan, produksi padi bisa turun..
Caranya, pada tahap awal, pemberian pupuk organik cukup 50 persen dan pupuk kimia dikurangi 50 persen, dan pupuk kimia 50 persen. Tahap berikutnya, pupuk organik ditingkatkan 10 persen, pupuk kimia dikurangi 10 persen.
Demikian seterusnya, sehingga, pada fase ke 6 atau ke 7, tanaman sudah diberi pupuk organik 100 persen. Dengan cara demikian, secara bertahap produksi gabah terus meningkat.
Di daerah hilir dataran rendah kita hanya bisa memproduksi beras semi organik ( beras ramah lingkungan). Tidak bisa memproduksi beras 100 persen (murni) organik. Mengapa?
Karena meski pupuknya 100 persen organik, tapi air irigasinya sering tercampur bahan- bahan kimia.
Tapi di daerah hulu (dataran tinggi,) kita bisa memproduksi beras organik murni, karena airnya langsung dari mata air, sehingga 100 persen organik.
Bila kita bisa memperoleh sertifikat organik internasional (scall), beras kita harganya bisa 2-3 kali harga beras biasa. Bahkan laku di pasaran ekspor.
Seperti yang berhasil dilakukan para petani di Tasikmalaya, betkat binaan seorang sarjana manajemen, alumni UNIV. Brisbane- Australia. Beras produksi petani tersebut berhasil diekspor ke AS. Sehingga kehidupan para petaninya makmur.
Meski hanya punyav sawah 0;5 hektar, mereka bisa membangun rumah yang megah dan rata-rata memiliki mobil mewah.
- Di LAHAN KEBUN Jamaah tani NU tidak hsnya berkecimpung di sawah, tapi juga ada yang beraktivitas di kebun. Banyak diantara mereka yang membudidayakan kopi, kakao,, karet, sawit, mete dan tanaman buah-buahan. Areal perkebunan umumnya tidak menjadi sumber emisi carbon seperti di sawah, tapi justru menjadi penambatan (penyerapan carbon), sehingga manajemennya lebih mudah.
Agar penyerapan carbon stabil, bahkan meningkat, perlu perawatan tanaman secara baik.
Antara lain dengan pemangkasan dan pemupukan secara teratur. Gunakan pupuk organik.
Dalam pengendalian hama dan penyakit itu sebaiknya menggunakan biopestisida (bio insektisida, bio fungisida, dll). Pertumbuhan daun harus dijaga, karena daun adalah penyerap carbon.
Agar daunya tumbuh subur dan buahnya llebat lakukan pemberian pupuk pelengkap menjelang musim berbunga sehingga produksi kebun meningkat dan “credit carbon” didapat.
- DALAM BUDIDAYA TERNAK
Jama’ah tani NU tidak hsnya memelihara tanaman di bawah atau di kebun, tapi banyak diantaranya yang juga memelihara ternak, seperti sapi, kambing, domba atau kerbau.
Terkait dengan emisi karbon, ternak ruminansa (pemamah biak): sapi, kambing, domba dan kerbau dianggap sebagai emiter carbon dalam bentuk metan (CH4) yang amat berbahaya bagi keberadaan lapisan ozon yang berperan melindungi atmosfer dari radiasi ultra violet (sinar matahari). Karena berbagai pihak mengusulkan agar populasi ternak ini dibatasi.
Bahkan ada kelompok extrem yang menekan budidaya ternak ruminansia dan melarang mengonsumsi daging ternak ini.
Dalam seminar internasional terkait dengan ternak ruminansia, saya menentang usulan-usulan tersebut. Dan saya mengusulkan perghitungan neraca karbon secara lebih komprehensif.
Memang ternak ini mengemisi carbon saat bersendawa (glegeken bhs Jawa), tetapi harus dihitung pula tanaman pakan ternak (daun pepohonan dan rumput) selama hidupnya juga menambat carbon.
Jika dikurangi dengan penambatan karbon dari pakanannya maka jumlah carbon yang diemisikan tentu akan berkurang secara “Significant”.
Kedua, untuk mengurangi emisi carbon dari ternak ini bisa dilakukan dengan pemberian probiotik (bakteri pembantu pencernakan).
Hasil uji laboratorium di Balitbang Peternakan Bogor, pada sapi yang telah diberi minum probiotik temuan saya (biogas) emisi metannya ternyata turun hingga 35 persen.
Pemberian probiotik juga bisa menyebabkan nafsu makan sapi meningkat. Sehingga pertumbuhannya akan lebih cepat, dan bau kotorannya hilang
- Di KAWASAN PANTAI
warga NU juga banyak yg hidup sebagai nelayan. Mereka tinggal di kawasan pantai.
Pengurangan emisi di kawasan ini juga bisa dilakukan dengan pemasyarakatan penggunaan energi surya untuk rumah tangga dan penggunaan bio energi untuk mesin-mesin perahu saat mereka menangkap ikan atau berlayar di laut.
Namun potensi yang amat besar jika mereka bisa membudidayakan mikro algai di pantai. Mikroalgae adalah jazat renik yang sangat rakus menyerap carbon untuk pertumbuhannya.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, pada luas permukaan yang sama, daya serap karbon pada kolam mikroalgae jauh lebih tinggi dibanding daya serap carbon di hutan. Karena itu andalan Indonesia sebagai sumber “Credit carbon”.
Disampibg hutan tropis di Kalimantan, Papua dan Sumatera juga kawasan segitiga coral (terumbu karang) yang terbentang dari Halmahera, Sulawesi Utara hinggan Sumba. Karena dalam ekosistem terumbu karang itulah habitat tumbuhnya mikro algae.
Ini tantangan besar bag kita, terlebih bsgii NU untuk mendorong jama’ahnya membudidayakan mikroalgae di kawasan pantai, yang meliputi zona yang amat sangat-sangat luas.
Di pantai Bali utara, yang pulaunya kecil, zona yang bisa untuk budidaya mikroalgae mencapai lebih dari 150.000 hektar.
Budidaya mikroalgae memiliki keuntungan ganda.
Pertama bisa memperoleh “credit carbon” dan setiap minggu bisa panen “super natan” mikroalgae, yang bsa diolah untuk bio premium atau bio solar. Dan limbahnya untuk pakan ayam atau pakan udang.
Sudah waktunya petani NU bangkit.
Berkarya nyata. Untuk mmempetkuat kejayaan bangsa. ( BERSAMBUNG)