
Ustad Rahmat Abdullah
Oleh: Anwar Djaelani
“Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk dakwah ini. Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh dakwah di desa sebelah,” tulis Rahmat Abdullah dalam prosa lirisnya yang berjudul “Aku Rindu dengan Zaman Itu” (www.dakwatuna.com 23/07/2013). Siapa Rahmat Abdullah?
Sang Inspirator
Rahmat Abdullah lahir di Jakarta pada 03/07/1953. Pada usia 11 tahun, Rahmat hidup tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia yatim. Sang ayah hanya mewariskan usaha percetakan (sablon), yang lalu ia kelola bersama kakak dan adiknya (www.bio.or.id).
Walau harus bekerja keras, ia tetap bersemangat meraih pendidikan yang lebih tinggi. Awalnya, dia masuk Sekolah Dasar Negeri. Kala itu, Rahmat tiap pagi belajar membaca Al-Qur’an, baca-tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq dan fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, menukil terjemah dan syarah dari Sang Ustadz. Siang harinya, belajar di Sekolah Dasar.
Setelah diselingi sejumlah pengalaman, Rahmat melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Assyafi’iyah Jakarta. Di Madrasah ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi dan ilmu pendidikan. Kecuali itu, ia tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para kiai serta bimbingan langsung dari Sang Orator yang selalu memberikan inspirasi bagi Rahmat muda, yaitu KH Abdullah Syafi’i. Rahmat mampu mengasah dirinya hingga bisa menjadi murid terbaik sekaligus kesayangan dari KH Abdullah Syafi’i.
Suatu ketika Rahmat punya peluang studi ke Azhar Mesir. Tapi, karena sesuatu hal, ia tak jadi berangkat. Meski begitu, hal tersebut tak menyurutkan Rahmat untuk terus belajar.
Sejak berkenalan dengan Syaikh dari Mesir
(yang diperantarai KH Abdullah Syafi’i), ia mulai senang melahap berbagai pemikiran Islam lewat buku semisal karya Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, dan Al-Maududi. Juga, dari tokoh-tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto dan M. Natsir.
Dalam perkembangannya, Rahmat mulai merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asysyafi’iyah dan Darul Muqorrobin – Karet Kuningan Jakarta. Di tempat inilah Rahmat mengabdikan dirinya sebagai pendidik. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan, untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les pribadi-pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
Semangat Rahmat dalam menuntut ilmu terus menyala. Tak hanya lewat buku-bukunya, Rahmat juga berguru langsung kepada tokoh-tokoh semisal M. Natsir, Mohammad Roem, atau Syafrudin Prawiranegara. Dia sangat suka kala berdiskusi dengan para tokoh itu. Terkait ini, Rahmat-pun mengakui bahwa dia mengadopsi logika dan metode orasi dari orator semisal Isa Anshari, Hamka, dan Abdullah Syafi’i.
dikawal oleh umat dan rakyat. Mereka bergerak dan hanya dalam tempo dua jam telah menguasai Gedung DPR/MPR. ….. Pemuda-pemuda Islam pada tahun 1973 tidak lagi menghitung nyawa. Dan hal itu, masih berlangsung hingga kini”.
Indah, Indah!
Lelaki sederhana tapi dengan ghirah besar ini meninggal pada pada 14/06/2005. Dia dijemput kematian ketika akan mengambil wudhu untuk shalat maghrib. Akhir yang sungguh indah. []