
Penebangan liar: penyebab pemanasan global. (Foto Istimewa)
Masjid Ramah Lingkungan (1)
Catatan: Suprio Guntoro
ALhamdulillah, naskah buku saya dengan judul Masjid Ramah Lingkungan akhirnya terbit juga. Menurut pihak penerbit, PT PUSTAKA DINIYAH- Yogyakarta, buku ini akan diterbitkan dalam 2 versi, yakni buku cetak kertas dan buku digital.
Dengan demikian, saya berharap penyebarannya akan lebih luas dan lebih cepat.
Ada 2:tokoh yang memberi kata sambutan yaitu 1. Rektor Institute Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Arif Satria yg juga Ketua Umum ICMI.
2.Ketua Dewan Masjid Indonesia Prov Bali, yg juga anggota DPD Bali, Ustadz H. Bambang Santoso MA.
Awalnya, saya menulis buku ini karena didorong kerisauan saya melihat makin maraknya penggunaan kertas tisue di masjid-masjid. Mengapa saya risau?.
Karena budaya penggunaan kertas tisu sesungguhnya tidak sejalan dengan pesan Al -Qur’an.
Dalam surat Ar Rahman ayat 7dan 8 Allah berfirman yg artinya sbb:
“Dan langit telah ditinggikanNya dan Dia ciptakan keseimbangan,
agar kamu jangan merusak keseimbangan itu”.
Ayat ini sungguh dahsyat. Selama berabad- abad telah menjadi bahan perdebatan di kalangan para ilmuwan dan akademisi Barat. Sebagian besar dari mereka merasa bingung dan ragu, penuh tanda tanya.
.
Upaya Menekan Pemanasan Global dan Efek Rumah Kaca
Masjid Ramah Lingkungan (1)
Catatan: Suprio Guntoro
ALhamdulillah, naskah buku saya dengan judul Masjid Ramah Lingkungan akhirnya terbit juga. Menurut pihak penerbit, PT PUSTAKA DINIYAH- Yogyakarta, buku ini akan diterbitkan dalam 2 versi, yakni buku cetak kertas dan buku digital.
Dengan demikian, saya berharap penyebarannya akan lebih luas dan lebih cepat.
Ada 2:tokoh yang memberi kata sambutan yaitu 1. Rektor Institute Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Arif Satria yg juga Ketua Umum ICMI.
2.Ketua Dewan Masjid Indonesia Prov Bali, yg juga anggota DPD Bali, Ustadz H. Bambang Santoso MA.
Awalnya, saya menulis buku ini karena didorong kerisauan saya melihat makin maraknya penggunaan kertas tisue di masjid-masjid. Mengapa saya risau?.
Karena budaya penggunaan kertas tisu sesungguhnya tidak sejalan dengan pesan Al -Qur’an.
Dalam surat Ar Rahman ayat 7dan 8 Allah berfirman yg artinya sbb:
“Dan langit telah ditinggikanNya dan Dia ciptakan keseimbangan,
agar kamu jangan merusak keseimbangan itu”.
Ayat ini sungguh dahsyat. Selama berabad- abad telah menjadi bahan perdebatan di kalangan para ilmuwan dan akademisi Barat. Sebagian besar dari mereka merasa bingung dan ragu, penuh tanda tanya.
Mengapa Allah (Tuhan) khawatir bahwa manusia akan merusak keseimbangan langit? Bukankah langit letaknya sudah tinggi, jauh dari bumi. Lalu untuk apa manusia sampai merusak keseimbangan langit?
Lagi pula bagaimana caranya manusia bisa merusak keseimbangan langit? “Ah….. Ada-ada saja ” pikir mereka dengan sinis, Dengan kebingungan dan keraguan tersebut sehingga sebagian besar akademisi Barat masa itu tidak mau mengakui kebenaran Al – Qur’an. Karena dianggapnya tidak masuk akal. “Hanya orang yang kurang akal yang mau mengakui kebenaran Al – Qur’an,” ujar mereka.
Tapi, sekitar seribu tahun setelah turunnya Al – Qur’an,
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi, tepatnya pada awal abad 18, kaum akademisi Barat terkejut, terbelalak melihat berbagai hasil penelitian yang menunjukkan makin kacaunya keseimbangan gas-gas di atmosfir (langit).
Diam-diam atau dengan rasa malu, para ademisi pun “terpaksa” mengakui kebenaran apa yang telah disampaikan dalam Al – Qur’an.
Sejak berlangsungnya “Revolusi Industri” di Eropa awal abad 18, bermunculanlah pabrik- pabrik, penggunaan kendaraan bermotor dan pembangkit listrik. Pabrik itu berkembang, yg sebagian besar menggunakan bahan bakar minyak bumi dan menghasilkan limbah berupa GRK (Gas Rumah Kaca), yakni Carbon dioksida ( C02 ), yang jumlahnya terus meningkat dan kian menenuhi atmosfir.
Disebut gas rumah kaca karena gas tersebut dapet menimbulkan “effect rumah kaca”. Dimana panas matahari (ultra violet) yang
jatuh ke bumi, sulit atau tidak bisa memantul ke angkasa lagi, karena terperangkap oleh gas-gas limbah tersebut, seperti C02 dll.
Akibatnya suhu bumi makin meningkat. Fenomena inilah yang disebut dng “pemanasan global”.
Dampak dari pemanasan global menyebabkan es-es di kutub mencair, sehingga permukaan air laut meningkat. Hal ini menyebabkan beberapa pulau kecil, seperti di kepulauan Maladewa, Solomon dll tenggelam
Dampak lain dari pemanasan global yg dicemaskan oleh masyarakat dunia adalah “perubahan iklim” yang saat ini akibatnya sudah mulai kita rasakan. Untuk menahan laju perubahan iklim, sejak tahun 90 an PBB telah membentuk Badan atau komite yang tugasnya menekan laju “perubahan iklim”. Sudah berkali – kali Lembaga tersebut menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Tinggi.
Mulai dari KTT Bumi di Rio deJ aneirio tahun 1994, disusul dng KTT KYOTO (1997), KTT Nusa Dua (1999) yang menghasilkan “Bali Road Map” hingga KTT Kopenhagen ( 2009) yg menghasilkan “Lopenhagen Accord”.
Namun hingga kini belum ada kesepakatan dari para pihak untuk menetapkan angka penurunan emisi karbon dari masing-masing negara. Dengan alasan klasik: demi menjaga laju pertumbuhan ekonomi.
‌ Sungguh Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Meski tahu, kerusakan di bumi merupakan akibat dari ulah manusia sendiri yang mengabaikan peringatan dari Al Qur’an. Namun Allah masih menyayangi manusia.
Maka Allah ciptakan mahluq yang dapat membantu manusia untuk menjaga keseimbangan langit. Mahluq itu adalah pohon-pohonan. Dengan daun- daunnya pohon mampu menambat (mengikat) karbon dioksida (CO2), melalui proses fotosintesa dihasilkan oksigen ( O2) yg bermanfaat bagi manusia untuk bernafas.
Disaat belum ada kesepakatan angka penurun emisi karbon dari masing- masing negara, seharusnya sebagai langkah alternatif adalah melakukan penghijauan atau reboisasi besar-besaran untuk memingkatkan penyerapan karbon dioksida.
Namun kenyataannya justru sebaliknya. Di satu sisi emisi GRK makin meningkat, di sisi lain penebangan pohon makin menggila. Penebangan pohon-pohon dilakukan kerena kayunya untuk bahan bangunan (rumah, kamtor dll) serta untuk furniture, dan perabot rumah tangga.
Hal ini bisa dimaklumi karena rumah atau kantor merupakan kebutuhan primer. Lagi pula umur pakai rumah mencapai belasan tahun bahkan bisa lebih dari 20 tahun.
Dalam jumlah yang lebih besar, kayu diolah untuk industri kertas. Bila kertas tersebut untuk mencetak buku, apalagi buku ilmu pebgetahuan atau buku agama, Apalagi.umtuk mencetak kitab suci. Tentu ini bisa dimaklumi karena .manfaatnya sangat besar dan umur pakainya lama, bisa belasan tahun, bahkan bisa lebih dari 20 tahun.
Namun yang ironis jika pohon yang ditebang tersebut kayunya dibuat kertas rissue, yang hanya digunakan untuk mengelap muka, leher atau tangan yang baru dicuci. Setelah itu di buang.
Jadi tissue hanya digunakan beberapa menit atau beberapa detik, setelah itu dibuang. Sungguh ini sangat disayangkan. Karena ini termasuk budaya pemborosan dan merusak alam.
Sekitar 25 an tahun lalu, di rumah-rumah makan atau di berbagai acara perhelatan, orang umumnya masih banyak menggunakan sapu tangan atau kain untuk mengelap muka, leher atau tangan.
Rumah makan Padang, merupakan rumah makan yang secara konsisten selalu menyediakan kain atau servet untuk mengelap tangan konsumen.
Tapi sejak sepuluhan tahun lalu atau leibih semua rumah makan atau restoran telah menggunskan tissue. Di rumah tanggapun sehari- hari atau saat ada perhelatan, sapu tangan tidak terpakai lagi. Semua menggunakan tissue.Demi kepraktisan dan kemudahan..
Dan yang lebih menprihatinkan, di masjid- masjid pun saat ada acara atau perhelatan juga menggunakan tissue. Maraknya penggunaan tissue menyebabkan produksi tissue terus meningkat.
Saat ini di Indonesia produksi tissue telah mencapai 2,8-30 juta gulung per hari (berat 250-300 gram pergulung). Jika dihitung, pertahun jumlahnya mencapai 9 miliar gulung.
Untuk memproduksi tissue sebanyak itu, kita mesti menebang hutan atau pohon seluas lebih dari 1.150.000 hektar. Dalam KTT Kopenhagen, ada makalah yang menarik dari Eidenberg University.
Hasil study Universitas tersebut menyimpulkan bahwa maraknya penggunaan kertas tissue merupakan penyebab utama makin menyempitnya hutan tropis. Dan makin menyempitnya hutan tropis menjadi faktor penting percepatan kenaikan suhu bumi, karena merosotnya pengikatan karbon.
Jika hal ini dibiarkan tanpa kendali, dperkirakan tahun 2040 an akan terjadi peningkatan suhu bumi secara drastis, yang akan diikuti dengan pencairan es di kutub secara massif.
Sekitar 28 trilyun ton es akan mencair. Akibatnya, permukaan air laut akan naik hingga 10 meter yang akan menenggelamkan banyak pulau kecil dan kota-kota pantai.
Belum ada peta bencana secara rinci untuk Indonesia. Namun dinyatakan akan banyak negara yang kerepotan mengungsikan penduduknya. China menjadi paling sibuk, karena harus mengungsikan penduduknya.
Diperkirakan penduduk yang harus mengungsi mencapai 114 juta, disusul India yang harus mengungsikan penduduk 94 juta, Pakistan 72; juta dan Indonesia 42 juta.
Belum ada data resmi tentang kota- kota mana di indoneaua yang akan tenggelam. Hanya disampaikan banyak kota pantai yang tenggelam . Namun kita bisa bayangkan, bila peemukaan air laut naik sampai 10 meter, sangat boleh jadi, Nusa Dua, Bukit, Uluwatu bisa terpisah dari daratan Bali.
Meski waktu masih chkup lama, namun pemerintah perlu mempersiapkan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi secara serius, dengan langkah-langkah yang terencana dan terarah, mengingat banyaknya fasilitas vital di bali yang dibangun di dekat pantai seperti Bandara, Pembangkitl listrik (Pesanggaran dan Celukan bawang dll). Masjid merupakan tempat ibadah bagi kaum Muslimin, terutama shalat. Disamping itu masjid juga merupakan tempat belajar dan mengajar ilmu agama, termasuk belajar membaca Al Qur’an, tempat pendidikan kharakter, terutama bagi generasi muda. Juga merupakan tempat bermusyawarah terutama menyangkut masalah keumatan.
Di berbagai daerah yang dilanda bencana, banyak masjid yang berfungsi untuk tempat perlindungan. Jadi, dari aspek sosial, peran dan fungsi masjid terus berkembang sesuai dengan tuntutan kondisi setempat. Namun pada prinsipnya masjid merupakan “agen kebaikan”. Di mana nilai- nilai kebaikan yang berasal dari masjid akan dapat tersosialisikan dan terpenetrasi kepada masyarakat di sekitarnya.
Dengan adanya model “Masjid Ramah Lingkungan” (MRL) diharapkan bisa menjadi contoh atau rujukan bagi masyarakat sekitarnya: bagaimana semestinya bersikap dan meresponk secara positip terhadap isu-isu dan masalah lingkungan, sesuai dengan kondisi di daerah masing- masing. (BERSAMBUNG)
Mengapa Allah (Tuhan) khawatir bahwa manusia akan merusak keseimbangan langit? Bukankah langit letaknya sudah tinggi, jauh dari bumi. Lalu untuk apa manusia sampai merusak keseimbangan langit?
Lagi pula bagaimana caranya manusia bisa merusak keseimbangan langit? “Ah….. Ada-ada saja ” pikir mereka dengan sinis, Dengan kebingungan dan keraguan tersebut sehingga sebagian besar akademisi Barat masa itu tidak mau mengakui kebenaran Al – Qur’an. Karena dianggapnya tidak masuk akal. “Hanya orang yang kurang akal yang mau mengakui kebenaran Al – Qur’an,” ujar mereka.
Tapi, sekitar seribu tahun setelah turunnya Al – Qur’an,
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi, tepatnya pada awal abad 18, kaum akademisi Barat terkejut, terbelalak melihat berbagai hasil penelitian yang menunjukkan makin kacaunya keseimbangan gas-gas di atmosfir (langit).
Diam-diam atau dengan rasa malu, para ademisi pun “terpaksa” mengakui kebenaran apa yang telah disampaikan dalam Al – Qur’an.
Sejak berlangsungnya “Revolusi Industri” di Eropa awal abad 18, bermunculanlah pabrik- pabrik, penggunaan kendaraan bermotor dan pembangkit listrik. Pabrik itu berkembang, yg sebagian besar menggunakan bahan bakar minyak bumi dan menghasilkan limbah berupa GRK (Gas Rumah Kaca), yakni Carbon dioksida ( C02 ), yang jumlahnya terus meningkat dan kian menenuhi atmosfir.

Disebut gas rumah kaca karena gas tersebut dapet menimbulkan “effect rumah kaca”. Dimana panas matahari (ultra violet) yang
jatuh ke bumi, sulit atau tidak bisa memantul ke angkasa lagi, karena terperangkap oleh gas-gas limbah tersebut, seperti C02 dll.
Akibatnya suhu bumi makin meningkat. Fenomena inilah yang disebut dng “pemanasan global”.
Dampak dari pemanasan global menyebabkan es-es di kutub mencair, sehingga permukaan air laut meningkat. Hal ini menyebabkan beberapa pulau kecil, seperti di kepulauan Maladewa, Solomon dll tenggelam
Dampak lain dari pemanasan global yg dicemaskan oleh masyarakat dunia adalah “perubahan iklim” yang saat ini akibatnya sudah mulai kita rasakan. Untuk menahan laju perubahan iklim, sejak tahun 90 an PBB telah membentuk Badan atau komite yang tugasnya menekan laju “perubahan iklim”. Sudah berkali – kali Lembaga tersebut menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Tinggi.
Mulai dari KTT Bumi di Rio deJ aneirio tahun 1994, disusul dng KTT KYOTO (1997), KTT Nusa Dua (1999) yang menghasilkan “Bali Road Map” hingga KTT Kopenhagen ( 2009) yg menghasilkan “Lopenhagen Accord”.
Namun hingga kini belum ada kesepakatan dari para pihak untuk menetapkan angka penurunan emisi karbon dari masing-masing negara. Dengan alasan klasik: demi menjaga laju pertumbuhan ekonomi.
‌ Sungguh Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Meski tahu, kerusakan di bumi merupakan akibat dari ulah manusia sendiri yang mengabaikan peringatan dari Al Qur’an. Namun Allah masih menyayangi manusia.
Maka Allah ciptakan mahluq yang dapat membantu manusia untuk menjaga keseimbangan langit. Mahluq itu adalah pohon-pohonan. Dengan daun- daunnya pohon mampu menambat (mengikat) karbon dioksida (CO2), melalui proses fotosintesa dihasilkan oksigen ( O2) yg bermanfaat bagi manusia untuk bernafas.
Disaat belum ada kesepakatan angka penurun emisi karbon dari masing- masing negara, seharusnya sebagai langkah alternatif adalah melakukan penghijauan atau reboisasi besar-besaran untuk memingkatkan penyerapan karbon dioksida.
Namun kenyataannya justru sebaliknya. Di satu sisi emisi GRK makin meningkat, di sisi lain penebangan pohon makin menggila. Penebangan pohon-pohon dilakukan kerena kayunya untuk bahan bangunan (rumah, kamtor dll) serta untuk furniture, dan perabot rumah tangga.
Hal ini bisa dimaklumi karena rumah atau kantor merupakan kebutuhan primer. Lagi pula umur pakai rumah mencapai belasan tahun bahkan bisa lebih dari 20 tahun.
Dalam jumlah yang lebih besar, kayu diolah untuk industri kertas. Bila kertas tersebut untuk mencetak buku, apalagi buku ilmu pebgetahuan atau buku agama, Apalagi.umtuk mencetak kitab suci. Tentu ini bisa dimaklumi karena .manfaatnya sangat besar dan umur pakainya lama, bisa belasan tahun, bahkan bisa lebih dari 20 tahun.
Namun yang ironis jika pohon yang ditebang tersebut kayunya dibuat kertas rissue, yang hanya digunakan untuk mengelap muka, leher atau tangan yang baru dicuci. Setelah itu di buang.
Jadi tissue hanya digunakan beberapa menit atau beberapa detik, setelah itu dibuang. Sungguh ini sangat disayangkan. Karena ini termasuk budaya pemborosan dan merusak alam.
Sekitar 25 an tahun lalu, di rumah-rumah makan atau di berbagai acara perhelatan, orang umumnya masih banyak menggunakan sapu tangan atau kain untuk mengelap muka, leher atau tangan.
Rumah makan Padang, merupakan rumah makan yang secara konsisten selalu menyediakan kain atau servet untuk mengelap tangan konsumen.
Tapi sejak sepuluhan tahun lalu atau leibih semua rumah makan atau restoran telah menggunskan tissue. Di rumah tanggapun sehari- hari atau saat ada perhelatan, sapu tangan tidak terpakai lagi. Semua menggunakan tissue.Demi kepraktisan dan kemudahan..
Dan yang lebih menprihatinkan, di masjid- masjid pun saat ada acara atau perhelatan juga menggunakan tissue. Maraknya penggunaan tissue menyebabkan produksi tissue terus meningkat.
Saat ini di Indonesia produksi tissue telah mencapai 2,8-30 juta gulung per hari (berat 250-300 gram pergulung). Jika dihitung, pertahun jumlahnya mencapai 9 miliar gulung.
Untuk memproduksi tissue sebanyak itu, kita mesti menebang hutan atau pohon seluas lebih dari 1.150.000 hektar. Dalam KTT Kopenhagen, ada makalah yang menarik dari Eidenberg University.
Hasil study Universitas tersebut menyimpulkan bahwa maraknya penggunaan kertas tissue merupakan penyebab utama makin menyempitnya hutan tropis. Dan makin menyempitnya hutan tropis menjadi faktor penting percepatan kenaikan suhu bumi, karena merosotnya pengikatan karbon.
Jika hal ini dibiarkan tanpa kendali, dperkirakan tahun 2040 an akan terjadi peningkatan suhu bumi secara drastis, yang akan diikuti dengan pencairan es di kutub secara massif.
Sekitar 28 trilyun ton es akan mencair. Akibatnya, permukaan air laut akan naik hingga 10 meter yang akan menenggelamkan banyak pulau kecil dan kota-kota pantai.
Belum ada peta bencana secara rinci untuk Indonesia. Namun dinyatakan akan banyak negara yang kerepotan mengungsikan penduduknya. China menjadi paling sibuk, karena harus mengungsikan penduduknya.
Diperkirakan penduduk yang harus mengungsi mencapai 114 juta, disusul India yang harus mengungsikan penduduk 94 juta, Pakistan 72; juta dan Indonesia 42 juta.
Belum ada data resmi tentang kota- kota mana di indoneaua yang akan tenggelam. Hanya disampaikan banyak kota pantai yang tenggelam . Namun kita bisa bayangkan, bila peemukaan air laut naik sampai 10 meter, sangat boleh jadi, Nusa Dua, Bukit, Uluwatu bisa terpisah dari daratan Bali.
Meski waktu masih chkup lama, namun pemerintah perlu mempersiapkan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi secara serius, dengan langkah-langkah yang terencana dan terarah, mengingat banyaknya fasilitas vital di bali yang dibangun di dekat pantai seperti Bandara, Pembangkitl listrik (Pesanggaran dan Celukan bawang dll). Masjid merupakan tempat ibadah bagi kaum Muslimin, terutama shalat. Disamping itu masjid juga merupakan tempat belajar dan mengajar ilmu agama, termasuk belajar membaca Al Qur’an, tempat pendidikan kharakter, terutama bagi generasi muda. Juga merupakan tempat bermusyawarah terutama menyangkut masalah keumatan.
Di berbagai daerah yang dilanda bencana, banyak masjid yang berfungsi untuk tempat perlindungan. Jadi, dari aspek sosial, peran dan fungsi masjid terus berkembang sesuai dengan tuntutan kondisi setempat. Namun pada prinsipnya masjid merupakan “agen kebaikan”. Di mana nilai- nilai kebaikan yang berasal dari masjid akan dapat tersosialisikan dan terpenetrasi kepada masyarakat di sekitarnya.
Dengan adanya model “Masjid Ramah Lingkungan” (MRL) diharapkan bisa menjadi contoh atau rujukan bagi masyarakat sekitarnya: bagaimana semestinya bersikap dan meresponk secara positip terhadap isu-isu dan masalah lingkungan, sesuai dengan kondisi di daerah masing- masing. (BERSAMBUNG)